Dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia tersebut menghasilkan tujuh (7) fatwa baru atas sejumlah permasalahan yang ada di Indonesia saat ini. Dan berikut 7 fatwa itu :
- Membolehkan asas pembuktian terbalik dalam kasus hukum tertentu misalnya untuk pembuktian kekayaan seseorang yang diduga diperoleh secara tidak sah;
- Membolehkan pilot yang sedang bertugas tidak berpuasa di bulan Ramadan. Bagi yang terbang terus-menerus dapat mengganti puasa dengan fidyah, sementara yang temporal bisa mengganti dengan puasa di lain hari;
- Mengharamkan kawin kontrak atau nikah wisata;
- Operasi ganti kelamin tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan sesuai regulasi Kementerian Kesehatan diharamkan. Pengharaman ini juga berlaku bagi tenaga medis yang melakukan. Namun MUI membolehkan penyempurnaan alat kelamin;
- Mengharamkan donor sperma dan bank sperma. Namun Bank Air Susu Ibu dibolehkan;
- Mengharamkan donor organ jika pendonor masih hidup. Pendonor harus sudah meninggal, sukarela dan tidak komersial. Sementara donor organ binatang dibolehkan jika tak ada pilihan lain.
- Mengharamkan pemberitaan, penyiaran dan penayangan aib orang. Pengecualian hanya demi kepentingan umum seperti untuk penegakan hukum.
'Infotainment' Haram, MUI Keluarkan Sejumlah Fatwa
JAKARTA—Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram untuk tayangan infotainment, baik bagi televisi yang menayangkan maupun masyarakat yang menontonnya. Fatwa tersebut disahkan dalam rapat pleno Komisi C bidang Fatwa Musyawarah Nasional (Munas) VIII MUI di Jakarta, Selasa (27/7). Rapat dipimpin oleh Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma’ruf Amin.
"Menonton, membaca, dan atau mendengarkan berita yang berisi tentang aib, kejelekan orang lain, gosip dan hal-hal lain sejenis terkait hukumnya haram," ujar Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni'am Sholeh.
Bagi pihak yang menayangkan dan menyiarkan atau mengambil keuntungan dari berita yang berisi tentang aib, kejelekan, gosip dan hal-hal lain sejenis terkait juga dinyatakan haram hukumnya oleh MUI.
Tapi, kata Asrorun, status haram itu bisa batal dengan beberapa alasan yang dibenarkan secara syar’i. Yakni tayangan infotainment itu untuk kepentingan penegakan hukum, memberantas kemungkaran, memberi peringatan, menyampaikan pengaduan, meminta pertolongan atau meminta fatwa hukum.
Terhadap fatwa ini, MUI merekomendasikan perlu dirumuskan aturan untuk mencegah konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan dan nilai luhur kemanusiaan.
Juga direkomendasikan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk meregulasi tayangan infotainment untuk menjamin hak masyarakat memperoleh tayangan bermutu dan melindunginya dari hal-hal negatif. Lembaga Sensor Film (LSF) juga diminta mengambil langkah proaktif untuk menyensor tayangan infotainment guna menjamin terpenuhinya hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu. "Kami meminta Lembaga Sensor Film untuk menyensor tayangan infotainmen," kata Asrorun.
Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin, permasalahan infotainment sebelumnya tidak masuk dalam pembahasan Komisi C namun karena banyaknya permintaan untuk itu akhirnya diputuskan untuk dibahas. "Kita memutuskan membahas dan membuat fatwa infotainment karena didasarkan pemberitaan saat ini yang dirasa sudah berlebihan," kata Ma’ruf.
Sebelumnya, Komisi I DPR, KPI dan Dewan Pers telah menyepakati perubahan status infotainment menjadi program non-faktual. Ketiga lembaga juga sepakat mengadakan sensor terhadap tayangan infotainment.
Keputusan ini diambil karena ketiga lembaga menilai kerap kali siaran infotainment dan reality show banyak melakukan pelanggaran terhadap norma agama, etika moral, norma sosial. Oleh karena itu sensor menjadi mutlak harus dilakukan. Selain itu, infotainment juga dinilai melanggar kode etik jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dibuat KPI.
Tapi rencana menyensor infotainment ini ditolak keras oleh sejumlah kalangan, terutama para pengusaha tayangan infotainment, selebriti dan praktisi media massa. Ilham Bintang, pemilik production house (PH) infotainment, menyatakan KPI akan DPR tidak untuk punya kewenangan untuk memutuskan apakah sebuah tayangan melakukan pelanggaran kode etik apa tidak.
"Kode etik setahu yang memeriksa adalah Dewan Pers. Kalau KPI dan DPR cara mengukur dan memeriksanya bagaimana?" katanya.
Nikah Wisata Haram
Selain infotainment, MUI juga mengeluarkan sejumlah fatwa lainnya. Untuk nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan oleh wisatawan muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata dinyatakan haram hukumnya oleh MUI. "Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu'aqqat hukumnya haram," kata Asrorun Ni'am Sholeh.
Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan Islam, namun pernikahan itu diniatkan untuk sementara saja.
KH Ma'ruf Amin mengatakan setelah penetapan fatwa tersebut pihaknya akan melakukan sosialisasi mengenai keputusan tersebut. Di beberapa daerah, praktek nikah wisata itu dilakukan oleh penduduk setempat karena alasan ekonomi dimana para turis yang menikahi mereka biasanya harus membayar "mahar" dalam jumlah lumayan besar.
Setelah sosialisasi, MUI juga akan mengeluarkan rekomendasi terkait, termasuk kemungkinan mengeluarkan peraturan untuk menjalankan fatwa tersebut. "Kita mungkin akan bicara dengan menteri atau DPR kalau menyangkut (pembuatan) undang- undang," kata Ma'ruf.
Perubahan jenis kelamin jika hal itu dilakukan dengan sengaja dan tidak ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan juga dinyatakan haram oleh MUI. "Mengubah jenis kelamin, yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram," kata Asrorun.
Ia mengatakan, membantu melakukan operasi ganti kelamin, jika penggantian tersebut dengan sengaja, maka hukumnya juga haram.
MUI juga memfatwakan, tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut.
Karena keabsahannya tidak boleh ditetapkan, kata dia, kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi sama dengan jenis kelamin semula seperti sebelum operasi, meski sudah mendapat penetapan pengadilan.
Adapun menyempurnakan kelamin bagi seorang khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-lakiannya hukumnya boleh. Demikian juga sebaliknya bagi perempuan.
Atas dasar fatwa tersebut, MUI memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa itu sebagai pedoman dalam memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin dengan melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi penyempurnaan.
Hal ini juga ditujukan kepada organisasi profesi kedokteran untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan operasi ganti kelamin dan pengaturan bagi praktik operasi penyempurnaan kelamin.
Ia menambahkan, pemerintah dan DPR diminta membuat aturan hukum terkait dengan praktik operasi ganti kelamin dan penyempurnaan kelamin.
Selain itu, pihaknya juga meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti kelamin.
MUI juga memfatwa haram donor sperma dan bank sperma. "Mendonorkan dan atau memperjualbelikan sperma hukumnya haram. Karena bertentangan dengan hukum Islam dan akan menimbulkan kekacauan asal usul dan identitas anak," ujar Asrorun. "Mendirikan bank sperma juga haram," tambah Niam.
Terorisme atau aksi teror, baik dilakukan perorangan, kelompok maupun negara, juga dinyatakan hukumnya haram. Hukum melakukan teror secara qoth’i adalah haram baik dengan alasan apapun apalagi jika dilakukan di dalam negeri atau negara damai.
Untuk pelakunya, MUI berpendapat, bom bunuh diri dengan alasan apapun tetap haram. "Kecuali dilakukan dalam kondisi perang (harb) musuh yang memerangi muslim."
Cangkok Organ Boleh
MUI membolehkan pencangkokan organ tubuh melalui hibah, wasiat dengan meminta atau tanpa imbalan atau melalui bank organ tubuh. Pencangkokan atau transplantasi juga mungkin dilakukan antara muslim dengan nonmuslim dan sebaliknya.
"Menerima cangkok organ tubuh binatang pun hukumnya boleh, meskipun binatang najis, asal dalam keadaan darurat," kata Asrorun.
Meski telah dibolehkan, namun pencangkokan atau transplantasi tetap dikenakan persyaratan. Diantaranya, pencangkokan menjadi haram jika terjadi jual beli organ tubuh. "Karena organ tubuh bukan milik individu, tapi milik Allah yang harus dijaga sebagai amanat," kata Asrorun.
Selain itu, donor organ dibolehkan setelah pendonor meninggal. Artinya, " Haram hukumnya bagi orang yang hidup mendonorkan organ tubuhnya pada orang lain" kata Asrorun.
Syaratnya antara lain sukarela dan tak komersil, pengambilan organnya disaksikan dua orang muslim, dan penerima dalam keadaan darurat. "Artinya tidak ada pengobatan medik lain selain transplantasi," kata Asrorun.
Fatwa haram itu, berlaku dalam kondisi apapun. "Baik antara ibu ke anak atau suami ke istri" kata anggota tim perumus fatwa Buya Gusrizal Gazahar. MUI, katanya lagi, berprinsip suatu kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan kemudharatan. "Walau bagaimana pun hidup dengan satu ginjal yang didonorkan itu kondisinya tetap cacat," Gusrizal menekankan.
Fatwa haram ini, ia menambahkan, hanya untuk donor organ. "Kalau masalah cangkok sumsum tulang belakang, itu belum dibicarakan," kata Gusrizal.
Untuk bank air susu ibu (ASI), MUI juga memperbolehkannya dengan syarat lebih dulu dilakukan musyawarah antara orang tua bayi dan pemilik ASI. "Sehingga disepakati tata cara dan biayanya. Bagi ibu yang mendonorkan ASI harus dalam keadaan sehat, tidak sedang hamil dan bank tersebut ada ketentuan untuk menegakkan syariat Islam," kata Asrorun. (sm/dtc/mi/kc/ant/rep)
http://www.haluankepri.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2377:infotainment-haram-mui-keluarkan-sejumlah-fatwa&catid=37:nasional&Itemid=59
MUI Haramkan Perubahan Jenis
Kelamin
Selasa, 27 Juli 2010 | 18:43
WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Majelis Ulama Indonesia atau MUI
mengeluarkan fatwa haram terhadap perubahan jenis kelamin
jika hal itu dilakukan
dengan sengaja dan tidak ada alasan alamiah dalam diri
yang bersangkutan.
"Mengubah jenis kelamin, yang dilakukan dengan sengaja
misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram,"
kata Sekretaris Komisi C yang membahas
tentang fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh, di Jakarta,
Selasa (27/7/2010).
Fatwa tersebut dikeluarkan MUI setelah melalui pembahasan
dalam Musyawarah Nasional (Munas) VIII. Selain mengenai
perubahan alat kelamin MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa lain.
Ia mengatakan, membantu melakukan
operasi ganti kelamin, jika penggantian tersebut dengan sengaja,
maka hukumnya juga haram.
MUI juga memfatwakan, tidak boleh menetapkan keabsahan
status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga
tidak memiliki implikasi hukum syar’i terkait perubahan tersebut.
Karena keabsahannya tidak boleh ditetapkan, kata dia, kedudukan hukum
jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi sama dengan jenis kelamin
semula seperti sebelum operasi, meski sudah mendapat penetapan pengadilan.
Adapun menyempurnakan kelamin bagi seorang khuntsa (banci) yang
kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-lakiannya hukumnya
boleh. Demikian juga sebaliknya bagi perempuan.
Membantu melakukan
operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan hukumnya, demikian juga dengan
penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat
kelamin.
Dengan demikian, hal tersebut memiliki implikasi hukum
syar’i terkait penyempurnaan tersebut. Kedudukan hukumnya sesuai dengan
jenis kelamin setelah penyempurnaan, sekalipun hal itu belum memperoleh
penetapan pengadilan terkait perubahan tersebut.
Atas dasar fatwa
tersebut, MUI memberi rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan
fatwa itu sebagai pedoman dalam memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin
dengan melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi
penyempurnaan.
Hal ini juga ditujukan kepada organisasi profesi
kedokteran untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan operasi ganti
kelamin dan pengaturan bagi praktik operasi penyempurnaan kelamin.
Ia
menambahkan, pemerintah dan DPR RI diminta membuat aturan hukum terkait dengan
praktik operasi ganti kelamin dan penyempurnaan kelamin.
Selain itu,
pihaknya juga meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran kepada hakim untuk
tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti
kelamin.
MUI Haramkan Nikah Wisata
Selasa, 27 Juli 2010 21:57 WIB | Peristiwa |
Pendidikan/Agama | Dibaca 1968 kali
Ketua Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maruf Amin.
(ANTARA)
Jakarta (ANTARA News) - Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan
oleh wisatawan Muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata.
"Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu`aqqat hukumnya haram,"
demikian dibacakan oleh Sekretaris Komisi C yang membahas fatwa Asrorun Ni`am
Sholeh, dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI di Jakarta,
Selasa.
Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang
dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan, namun pernikahan itu
diniatkan untuk sementara saja.
Ketua MUI Bidang Fatwa Ma`ruf Amin
mengatakan setelah penetapan fatwa tersebut pihaknya akan melakukan sosialisasi
mengenai keputusan tersebut.
"Kita akan sosialisasikan ke daerah-daerah
dimana ini terjadi," kata Ma`ruf.
Sosialisasi akan dilakukan ke daerah
karena Ma`ruf menyebut praktek pernikahan semacam itu biasanya terjadi tidak
secara resmi namun dibawah tangan dan umum dilakukan di beberapa daerah
tertentu.
Di beberapa daerah, praktek nikah wisata itu dilakukan oleh
penduduk setempat karena alasan ekonomi dimana para turis yang menikahi mereka
biasanya harus membayar "mahar" dalam jumlah lumayan besar.
Setelah
sosialisasi, MUI juga akan mengeluarkan rekomendasi terkait termasuk
kemungkinan
mengeluarkan peraturan untuk menjalankan fatwa tersebut.
"Kita mungkin
akan bicara dengan menteri atau DPR kalau menyangkut (pembuatan) Undang
Undang,"
kata Ma`ruf. (*)
MUI: Pilot Boleh Tidak Berpuasa Ramadhan
Selasa, 27 Juli 2010 20:10 WIB | Peristiwa |
Pendidikan/Agama | Dibaca 745 kali
Jakarta
(ANTARA) - Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Para penerbang atau pilot
diperbolehkan tidak berpuasa selama Ramadhan namun harus membayar fidyah atau
menggantinya di hari lain.
"Penerbang atau pilot boleh meninggalkan
ibadah puasa Ramadhan sebagai rukhshah safar (keringanan karenan bepergian),"
demikian fatwa MUI yang dibacakan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun
Ni`am Sholeh dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke VIII di Jakarta,
Selasa.
Meskipun diperbolehkan namun MUI juga memberikan ketentuan bagi
pelaksanaan ibadah wajib umat muslim itu.
Penerbang yang berstatus
musafir tetap (seseorang yang melakukan perjalanan secara terus menerus) dapat
mengganti puasa Ramadhan dengan membayar denda atau fidyah.
Sedangkan
bagi penerbang yang berstatus musafir tidak tetap atau melakukan perjalanan
sewaktu-waktu saja tetap harus membayar puasa di hari lain.
Fatwa itu
dikeluarkan oleh MUI setelah adanya kasus sebuah maskapai penerbangan yang
melarang pilotnya berpuasa karena dinilai menurunkan kinerja.
MUI
menentang kebijakan tersebut karena larangan itu bertentangan dengan hukum
agama.
"Membuat peraturan yang melarang seseorang berpuasa Ramadhan
hukumnya haram karena bertentangan dengan syariat Islam," papar
Asrorun.(*)
MUI Perbolehkan Pencangkokan Organ Tubuh
Selasa, 27 Juli 2010 19:50 WIB | Peristiwa |
Pendidikan/Agama | Dibaca 507 kali
(ANTARA/Grafis/ Hanmus)Jakarta (ANTARA News) -
Majelis Ulama Indonesia memperbolehkan pencangkokan organ tubuh melalui hibah,
wasiat dengan meminta atau tanpa imbalan atau melalui bank organ
tubuh.
Hal itu terdapat dalam fatwa MUI yang disahkan dalam rapat pleno
Musyawarah Nasional (Munas) VIII MUI yang dibacakan Sekretaris Komisi C tentang
fatwa, Asrorun Ni`am Sholeh di Jakarta, Selasa.
"Tranplantasi boleh
dilakukan dengan persyaratan, " kata Asrorun.
Selain itu, pencangkokan
atau tranplantasi dimungkinkan dilakukan antara muslim dengan non muslim jika
ada hajat untuk itu.
Diperbolehkan juga tranplantasi dari binatang
sekalipun najis dalam keadaan darurat.
MUI juga memperbolehkan donor
organ tubuh dari orang meninggal dengan syarat kematiannya disaksikan dua
dokter
ahli.
Namun, fatwa MUI mengharamkan jual beli organ tubuh.
Fatwa
tersebut disahkan bersama enam fatwa lainnya yang dibahas Komisi C yaitu fatwa
mengenai azas pembuktian terbalik, bank ASI dan bank sperma.
Permasalahan
lain yang difatwakan yaitu mengenai perubahan dan penyempurnaan alat kelamin,
puasa bagi penerbang dan nikah wisata. Selain itu juga difatwakan tentang
infotainment.
Selama ini pencangkokan organ tubuh sudah sering dilakukan
dalam dunia kedokteran.
Fatwa yang dikeluarkan MUI lebih untuk menguatkan
dan meyakinkan umat muslim dalam menjalankan kehidupan yang lebih baik dan
sesuai syar`i. (*)
di bawah ini beberapa link-web yg bisa d lihat soal fatwa tsb.
http://www.mail-archive.com/syiar-islam@yahoogroups.com/msg09352.html
http://gresnews.com/ch/Regional/cl/Fatwa+MUI
http://www.sapos.co.id/index.php/berita/detail/Rubrik/9/3986
http://www.persis.or.id/index.php?rowjam=5&rowmuk=7&mod=sitelogo&cmd=ekonomi&mod=sitelogo
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/07/28/118460/MUI-Infotainment-Haram
http://elmudunya.wordpress.com/2010/07/29/infotainment-haram-1-dari-7-fatwa-mui-terbaru-2010
0 komentar:
Posting Komentar